Frasa Tidak Tercantum, Uji UU Tipikor Tidak Dapat Diterima

Sidang Pleno Pengucapan Putusan Perkara Pengujian UU Tipikor, Selasa (21/5) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Foto Humas/Ganie.

JAKARTA, HUMAS MKRI – Permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang dimohonkan para advokat dan pengurus PERADI Jakarta Selatan tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Majelis Hakim Konstitusi menilai permohonan kabur karena tidak terdapatnya frasa “secara langsung dan tidak langsung” dalam Pasal 21 UU Tipikor.

Permohonan Nomor 27/PUU-XVII/2019 ini dimohonkan para advokat dan pengurus Peradi Jakarta Selatan, yakni Octolin Hutagalung, Nuzul Wibawa, Hernoko D. Wibowo, dan Andrijani Sulistiowati mendalilkan bahwa Pasal 21 sepanjang frasa “secara langsung dan tidak langsung” UU Tipikor bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena tidak memiliki tolok ukur yang jelas dan multitafsir. Pemohon mendalilkan penegak hukum seperti penyidik kepolisian, kejaksaan, dan KPK menjadi bebas tafsir karena tidak ada kesepahaman dan standar yang pasti mengenai waktu seorang advokat dalam hal jenis perbuatan hukum dapat diartikan sebagai perbuatan yang dimaksud sebagai perbuatan secara “langsung atau tidak langsung” dalam melakukan pembelaan kepada kliennya. Menurut Pemohon, ketiadaan tolok ukur yang jelas tersebut menyebabkan para Pemohon dalam membela klien dalam kasus korupsi dapat dianggap dan diduga melakukan perbuatan mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung sehingga Pasal 21 UU Tipikor merupakan norma yang tidak memiliki kepastian hukum dan dalam waktu yang bersamaan pula bertentangan dengan UUD 1945.

Wakil Ketua MK Aswanto yang membacakan pertimbangan hukum menjelaskan menurut Pemohon, Pasal 21 UU Tipikor sepanjang frasa “secara langsung dan tidak langsung” bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebelum Mahkamah menjawab dalil tersebut, perlu Mahkamah tegaskan bahwa frasa “secara langsung dan tidak langsung” sebagaimana berulang-ulang disebutkan Pemohon dalam permohonannya, baik pada alasan permohonan maupun pada petitum, tidak terdapat dalam Pasal 21 UU Tipikor.

Adapun Pasal 21 UU Tipikor selengkapnya menyatakan: “Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau 33 denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”.

Dengan demikian, lanjut Aswanto, dengan tidak terdapatnya frasa “secara langsung dan tidak langsung” dalam norma Pasal 21 UU Tipikor, maka telah membuat permohonan para Pemohon menjadi kabur sebab secara hukum frasa “secara langsung dan tidak langsung” memiliki konsekuensi hukum yang sangat berbeda dengan frasa “secara langsung atau tidak langsung” sebagaimana tertuang dalam Pasal 21 UU Tipikor. Frasa “secara langsung dan tidak langsung” sebagaimana terdapat dalam dalil para Pemohon memiliki konsekuensi hukum bahwa frasa tersebut bersifat kumulatif. Sedangkan frasa “secara langsung atau tidak langsung” dalam Pasal 21 UU Tipikor memiliki konsekuensi hukum bahwa frasa tersebut bersifat alternatif. “Oleh karena itu, dalil permohonan para Pemohon sepanjang frasa “secara langsung dan tidak langsung” dalam Pasal 21 UU Tipikor adalah kabur,” tandas Aswanto. (Lulu Anjarsari)

Selasa, 21 Mei 2019 | 19:00 WIB



×

Halo..

Click one of our representatives below to chat on WhatsApp

×